بِســمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ
وَبَرَكَاتُهُ
Berikut ini adalah Manaqib & Riwayat Hidup Al 'Alimmul Al 'Allamah Al Arrif Billah Syekh Muhammad Syarwani Abdan (Guru Bangil ) :
Guru Bangil adalah seorang ulama yang alim dan tawadhu’. Keluasan dan 
ketinggian ilmu beliau diakui, sehingga banyak orang yang belajar dan 
menuntut ilmu dengan beliau, termasuk pula para kyai. Ketika hidup, 
beliau menjadi referensi bagi para guru agama dan masyarakat dalam 
memecahkan berbagai permasalahan keagamaan. Keilmuan dan kiprah 
keagamaan beliau telah memberikan sumbangsih besar terhadap pembangunan 
mental spiritual umat, tidak hanya di kota kelahiran beliau Martapura, 
akan tetapi juga di Kota Bangil tempat Beliau menetap dan meninggal 
dunia. Secara geneologis, Guru Bangil merupakan generasi ke-8 dari ulama
 besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan salah seorang 
guru dari ‘Alimul Fadhil Tuan Guru Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani 
(Guru Sekumpul).
Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah (Simpanan Berharga, 
Masalah Talqin, tahlil dan Tawassul) adalah salah satu karya tulis Guru 
Bangil yang paling populer, dicetak, dipublikasikan, dan banyak 
dijadikan rujukan oleh masyarakat Banjar, terutama di Martapura dan 
Bangil.
LATAR BELAKANG
Umumnya, dalam komunitas Islam diberbagai daerah kehadiran ulama dalam 
memberi warna kehidupan masyarakat memang sangat signifikan. Ulama 
memiliki kedudukan sangat penting di tengah-tengah masyarakatnya, 
sehingga kata-katanya dipatuhi dan perilakunya diikuti. Dalil utama yang
 sering menjadi sandaran atas peran penting ulama, sehingga mereka 
menjadi tokoh kunci (key people) dalam masyarakatnya tersimpul dalam 
hadits Nabi Saw: “Ulama adalah pewaris para Nabi”.
Menurut bahasa, ulama merupakan bentul plural dari kata alim, yang 
berarti orang yang mempunyai sifat tahu, mengerti, terpelajar, berilmu 
atau ilmuwan. Dalam Alquran seperti tercantum dalam surah Asy Syuraa 197
 dan Al Fathir 28 dijelaskan bahwa makna ulama yang terkandung dalam 
ayat tersebut tidak selalu merujuk kepada pengertian khusus yang berarti
 sebagai orang-orang yang berpengetahuan agama saja, namun ia bersifat 
umum. Karena itu jika kita telusuri ulama hanyalah salah satu kelompok 
atau sinonim dari apa yang disebut dengan istilah ulil albab, yakni 
orang-orang yang berakal, mempunyai pikiran, cendikiawan. Ulama dianggap
 sebagai orang yang memiliki pengetahuan dan pemahaman luas akan agama 
serta memiliki kebijaksanaan (men of understanding and men of wisdom).
Dalam Alquran, kata-kata ulil albab disebut enam belas kali, antara lain
 mereka yang termasuk dalam kelompok ulil albab disebut sebagai “orang 
yang diberi hikmah” (Al-Baqarah 269), “orang yang sanggup mengambil 
pelajaran” (Yusuf 111), “mereka yang kritis mendengarkan pemikiran orang
 lain” (Az-Zumar 18), “orang yang bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu”
 (Ali Imran 109), “orang yang mengambil pelajaran dari kitab yang 
diwahyukan oleh Allah” (As-Shaad 29, Al-Mu’min 54 dan Ali Imran 7), dan 
“orang-orang yang merasa takut kepada Tuhannya”.
Karena itulah, Ali Syariati (seorang sosiolog Muslim Iran) menjuluki 
kelompok ulil albab tersebut sebagai pemikir yang mencerahkan. Ulama 
diibaratkan tongkat pemandu jalan di siang hari dan obor penerang di 
malam Karena itu, kehadirannya tidak hanya concern dengan peran 
keulamaannya semata, tetapi mestinya juga terpanggil untuk melaksanakan 
kebenaran guna memperbaiki kehidupan masyarakatnya, menangkap aspirasi 
mereka, merumuskan bahasa yang dapat dipahami mereka, serta siap 
menawarkan strategi dan alternatif solusi cerdas terhadap berbagai 
problem yang dihadapi oleh masyarakat. Inilah tugas utama ulama kata 
Syariati. Untuk itu, mestinya ia tidak hanya pandai dalam ilmu-ilmu 
agama, akan tetapi ia juga harus tahu ilmu-ilmu pengetahuan lain guna 
menunjang tugas yang diembannya selaku waratsatul anbiyaa.
Imam Ali bin Abi Thalib ra menegaskan bagaimana strategisnya kedudukan 
ulama di tengah-tengah masyarakat. Menurut Imam Ali: “Ulama adalah lampu
 Allah di bumi, maka barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan 
baginya, dia akan memperoleh cahaya (ilmu) itu darinya. Kedudukan ulama 
bagaikan pohon kurma, engkau menunggu kapan buahnya jatuh kepadamu. Jika
 seorang ulama meninggal, maka terjadi lubang dalam Islam yang tidak 
tertutupi sehingga datang ulama lain yang akan menggantikannya. 
Kesalahan yang dilakukan ulama seperti pecahnya sebuah kapal, yang tidak
 hanya menenggelamkan dirinya, akan tetapi juga orang-orang yang ikut 
bersamanya”.
Dari kota Martapura, salah seorang ulama yang terkenal namanya bagi 
masyarakat Banjar (Martapura) dan masyarakat Bangil (Pasuruan) 
khususnya, adalah Tuan Guru H. Muhammad Syarwani Abdan. Karenanya, bagi 
masyarakat Banjar dan masyarakat Bangil, nama Guru Bangil, pendiri 
Pondok Pesantren Datu Kalampayan di Kota Bangil Kabupaten Pasuruan Jawa 
Timur tidaklah asing lagi. Keilmuan dan kiprah keagamaan beliau telah 
memberikan sumbangsih besar terhadap pembangunan mental spiritual umat, 
tidak hanya di daerah kelahiran beliau Kota Martapura dan sekitarnya, 
akan tetapi juga di Kota Bangil (Pasuruan).
Tuan Guru H. Muhammad Syarwani Abdan yang akrab dipanggil Guru Bangil 
dikenal sebagai seorang ulama yang alim dan tawadhu’. Keluasan dan 
ketinggian ilmu beliau diakui, sehingga banyak orang yang belajar dan 
menuntut ilmu dengan beliau, termasuk pula para kyai yang ada di Kota 
Pasuruan, Bangil dan sekitarnya. Ketika hidup, beliau menjadi referensi 
bagi para guru agama dan masyarakat dalam memecahkan berbagai 
permasalahan keagamaan. Guru Bangil juga dikenal sebagai salah seorang 
keturunan ulama besar Kalimantan, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang 
aktif berdakwah dan berjuang tanpa pamrih.
Kiprah Guru Bangil untuk membangun spiritual dan kecerdasan beragama 
masyarakat merupakan sumbangsih besar yang menarik untuk dikaji. Karena,
 aktivitas keulamaan dan pemikiran keagamaan Guru Bangil telah memberi 
warna tersendiri dalam kehidupan masyarakat Islam dan menjadi aset 
penting bagi masyarakat Banjar dan Bangil khususnya.
PROFIL DAN SEJARAH HIDUP GURU BANGIL
A. Kelahiran
Guru Bangil yang bernama lengkap H. Muhammad Syarwani Abdan bin H. 
Muhammad Abdan bin H. Muhammad Yusuf bin H. Muhammad Shalih Siam bin H. 
Ahmad bin H. Muhammad Thahir bin H. Syamsuddin bin Sa’idah binti Syekh 
Muhammad Arsyad al-Banjari dilahirkan di Kampung Melayu Ilir Martapura. 
Tidak diketahui secara pasti kapan tanggal kelahiran beliau, dari 
beberapa catatan yang ada hanya dituliskan tahun kelahiran beliau, yakni
 pada tahun 1915 M/1334 H.
Menurut silsilahnya, Guru Bangil merupakan zuriat ke-8 dari Syekh 
Muhammad Arsyad al-Banjari, dari istri Al-Banjari yang kedua, yang 
bernama Tuan Bidur. Moyang Guru Bangil yang bernama Sa’idah adalah anak 
dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Tuan Bidur. Sa’idah memiliki 
saudara tiga orang, yakni ‘Alimul ‘Allamah Qadhi H. Abu Su’ud, 
‘Alimul ‘Allamah Qadhi H. Abu Na’im, dan ‘Alimul ‘Allamah Khalifah H. 
Syahabuddin.
Guru Bangil terlahir dari keluarga yang agamis dan dikenal luas oleh 
masyarakat Martapura sebagai ‘keluarga alim’. Ayahnya bernama H. 
Muhammad Abdan bin H. Muhammad Yusuf, sedangkan ibunya bernama Hj. 
Mulik. Guru Bangil mempunyai 7 orang saudara kandung, nama-nama saudara 
Guru Bangil tersebut adalah: H. Ali, Hj. Intan, Hj. Muntiara, Abd. 
Razak, Husaini, Acil, dan H. Ahmad Ayub
Selain mempunyai saudara sekandung yang berjumlah 7 orang, Guru Bangil 
juga mempunyai saudara seayah, di antaranya adalah Abd. Manan dan H.M. 
Hasan.
B. Pendidikan
Pendidikan keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama yang 
dirasakan oleh Guru Bangil. Berdasarkan catatan H. Abu Daudi dalam 
bukunya, “Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari: Tuan Haji Besar”, 
sejak kecil Guru Bangil sudah dikenal sebagai seorang yang memiliki 
himmah kuat untuk belajar dan menuntut ilmu, terutama ilmu agama. 
Beliau dikenal sebagai anak yang rajin dan tekun dalam belajar, sehingga
 disayangi dan disenangi oleh guru-guru beliau. Terlebih-lebih beliau 
berasal dari dan dibesarkan di lingkungan keluarga yang agamis dan 
“Serambi Mekkah”, Martapura. Karena itu, di samping dididik dalam 
lingkungan dan oleh keluarga, Guru Bangil juga mendapat didikan dan 
mulai menyauk ilmu agama di Pesantren Darussalam Martapura dan dari 
sejumlah ulama besar yang hidup pada waktu itu, antara lain kepada 
‘Alimul ‘Allamah Tuan Guru H. Kasyful Anwar bin H. Ismail, ‘Alimul 
Fadhil Qadhi H.M. Thaha, dan ‘Alimul Fadhil H. Isma’il Khatib Dalam 
Pagar, Martapura.
Beliau juga pernah belajar ilmu agama dengan Guru Mukhtar Khatib, di 
mana menurut cerita yang berkembang, beliau belajar sambil mengayuh 
jukung (perahu).
Setelah cukup banyak belajar ilmu agama di Martapura, Guru Bangil pada 
usia yang masih muda meninggalkan daerah asalnya Martapura menuju pulau 
Jawa dan bermukim di kota Bangil, dengan satu tujuan memperdalam ilmu 
agama Islam. Selama beberapa tahun di kota Bangil, beliau sempat belajar
 dan berguru pada ulama-ulama terkenal di kota Bangil dan Pasuruan 
antara lain K.H. Muhdor, K.H. Abu Hasan, K.H. Bajuri dan K.H. Ahmad 
Jufri.
Pada sekitar usia 16 tahun Guru Bangil kemudian melanjutkan belajar ilmu
 agama ke Tanah Suci Mekkah. Beliau berangkat bersama-sama dengan 
saudara sepupu beliau ‘Alimul ‘Allamah H. Anang Sya’rani Arif di 
bawah pengawasan paman beliau ‘Alimul ‘Allamah H. Kasyful Anwar bin H. 
Ismail, yang pada saat itu juga sedang bermukim di Mekkah. Selama di 
Mekkah, Guru Bangil menuntut berbagai cabang ilmu agama dengan beberapa 
orang guru, di antaranya adalah kepada ‘Alimul ‘Allamah Syekh Sayyid 
Muhammad Amin Kutbi, Syekh Umar Hamdan, dan ‘Alimul ‘Allamah H. Muhammad
 Ali bin Abdullah al-Banjari. Di samping itu, Guru Bangil juga 
belajar dan mengkaji ilmu kepada Syekh Sayyid Alwi al-Maliki, Syekh 
Muhammad Arabi, Syekh Hasan Massyath, Syekh Abdullah Bukhori, Syekh 
Saifullah Andagistani, Syekh Syafi’i Kedah, Syekh Sulaiman Ambon, dan 
Syekh Ahyat Bogori. Abu Nazla menambahkan bahwa selama di Mekkah, 
Guru Bangil dan Guru Anang Sya’rani Arif juga belajar kepada Syekh Bakri
 Syatha dan Syekh Muhammad Ali bin Husien al-Maliki.
Selama mukim di Mekkah berbagai cabang ilmu agama telah dikaji dan 
dipelajari oleh Guru Bangil. Banyak pula silsilah sanad, ilmu dan amal 
yang beliau terima. Salah satu cabang ilmu yang menonjol yang dikuasai 
oleh Guru Bangil adalah ilmu tasawuf. Di bidang ilmu tasawuf ini, Guru 
Bangil telah menerima ijazah tarekat Naqsabandiyah dari ‘Alimul ‘Allamah
 Syekh Umar Hamdan dan ijazah tarekat Sammaniyah dari ‘Alimul ‘Allamah 
H. Muhammad Ali bin Abdullah al-Banjari. Ijazah tarekat Idrisiyah 
diterima dari ‘Alimul ‘Allamah Syafi”i bin Shalih al-Qadiri.
Guru Bangil dikenal sebagai murid utama dan khalifah dari guru besar 
bidang tasawuf, Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutbi untuk Tanah Jawa 
(Indonesia). Dari Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutbi inilah Guru Bangil 
banyak belajar dan mengkaji ilmu, khususnya tasawuf. Tidak 
mengherankan jika kemudian Guru Bangil menjadi seorang ulama yang wara, 
tawadhu’, dan khumul, hapal Alquran serta menghimpun antara syariat, 
tarekat, dan hakikat.
Guru Bangil juga merupakan salah seorang guru tasawuf dari ‘Alimul 
‘Allamah Tuan Guru Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau Guru 
Sekumpul. Guru Bangil Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arif dikenal oleh 
gurunya sebagai murid yang tekun dan menghabiskan waktunya untuk 
menuntut ilmu agama. Guru-guru mereka sangat sayang karena melihat bakat
 dan kecerdasan mereka berdua”. demikian yang tergambar dalam Manaqib 
Guru Bangil berkenaan dengan semangat dan ketekunan dua saudara sepupu 
tersebut dalam dan selama menuntut ilmu. Bahkan, keadaan dan 
ketekunan mereka berdua selama menuntut ilmu di Mekkah juga diibaratkan,
 “Siang bercermin kitab dan malam bertongkat pensil”. Sehingga wajar
 jika kemudian dalam beberapa tahun saja mereka berdua mulai dikenal di 
Kota Mekkah dan mendapat julukan “Dua Mutiara dari Banjar”. Bahkan 
mereka berdua mendapat kepercayaan untuk mengajar selama beberapa tahun 
di Masjidil Haram (Mekkah) atas bimbingan Syekh Sayyid Muhammad Amin 
kutbi.
Guru Bangil di mata guru-gurunya memang dikenal sebagai seorang murid 
yang cerdas, namun beliau sendiri tidak mau menampakkan kecerdasan 
tersebut, beliau selalu sederhana dan bahkan merendahkan hati, sehingga 
banyak orang yang tidak tahu tentang beliau. Cerita tentang kedatangan 
beliau di Bangil dan tidak mau membuka pengajian karena penghormatan 
terhadap ulama yang ada di sana merupakan bukti kuat bahwa beliau adalah
 seorang yang tidak suka menyombongkan diri, sebaliknya bersikap hormat 
dan selalu rendah hati. Bahkan untuk menutupi ketinggian ilmunya setelah
 bertahun-tahun menuntut ilmu di Mekkah, selama tinggal di Bangil beliau
 menutupi diri dengan menjadi pedagang. Beliau juga tidak merasa kecil 
hati untuk belajar dan menuntut ilmu kepada para ulama yang ada di Kota 
Bangil dan Pasuruan.
Menurut cerita salah seorang dari muridnya, dalam salah satu tausiyahnya
 (agar tidak sombong) Guru Bangil juga pernah berkata dan menyatakan 
bahwa beliau bukanlah orang cerdas sebagaimana yang disangkakan orang, 
beliau hanya rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh dalam belajar, menjaga
 etika belajar, hormat dengan guru dan tawakkal kepada Allah.
Guru Bangil adalah seorang yang pandai menyembunyikan diri (tidak suka 
pamer, sombong, atau takabbur), walaupun memiliki ilmu agama yang 
luas.Selama menuntut ilmu di Mekkah mendapat julukan “mutiara dari 
Banjar”, pernah mengajar di Masjidil Haram, namun beliau tetap rendah 
hati dan sederhana, sehingga di awal-awal berdiamnya beliau di Kota 
Bangil, banyak orang yang tidak mengetahui siapa beliau sebenarnya, 
kecuali sesudah diberitahu oleh Kyai Hamid yang merupakan Kyai Sepuh di 
Kota Pasuruan.
C. Keluarga
Setelah lebih kurang 10 tahun mukim dan menimba berbagai ilmu agama di 
Mekkah, Guru Bangil kemudian kembali ke Martapura (Kampung Melayu Ilir) 
pada tahun 1941 serta mengabdikan ilmu yang telah didapat untuk 
masyarakat luas. Namun setelah kurang lebih berdiam selama 5 tahun di 
Martapura, Guru Bangil kemudian pindah ke Kota Bangil pada tahun 1946 
menyusul keluarganya yang telah terlebih dahulu berdiam di sana.
Di Kota Bangil inilah, Guru Bangil dikawinkan dengan Hj. Bintang binti 
H. Abd. Aziz ketika berusia lebih dari 30 tahun. Hj. Bintang masih 
terhitung dan memiliki hubungan keluarga dengan beliau, karena Hj. 
Bintang adalah anak paman beliau, yang berarti saudara sepupu. Dari 
perkawinannya dengan Hj. Bintang binti H. Abd. Aziz ini, Guru Bangil 
mendapatkan beberapa orang anak, di antaranya: K.H. Kasyful Anwar, 
Zarkoni, Abd. Basit, Malihah, dan Khalwani.
Setelah isteri beliau yang pertama (Hj. Bintang) meninggal dunia, beliau
 kemudian kawin lagi dengan Hj. Gusti Maimunah dan dari perkawinannya 
dengan Hj. Gusti Maimunah ini beliau mendapatlan beberapa orang anak 
lagi, di antaranya adalah Hj. Imil, Noval, Didi, Yuyun, dan Mahdi
Isteri beliau yang ketiga adalah Hj. Fauziah. Dari perkawinan dengan Hj.
 Fauziah ini, beliau mendapatkan beberapa orang anak pula, di antaranya 
adalah M. Rusydi, Abd. Haris, dan Busra.Menurut keterangan Ustadz 
H. Mulkani jumlah anak beliau keseluruhan adalah 28 orang.
H. Kasyful Anwar, anak Guru Bangil yang tertua adalah generasi penerus 
dalam melaksanakan aktivitas pendidikan dan dakwah serta pengelolaan 
Pondok Pesantren Datu Kalampayan di Kota Bangil hingga sekarang ini. Di 
samping itu beliau juga tercatat sebagai seorang dosen tetap pada 
Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
D. Wafat
“Sesungguhnya dicabut ilmu itu oleh Allah Swt dengan kewafatan ulama”. 
Setelah sekian banyak mencetak kader ulama dan berkhidmat dalam dakwah, 
meningkatkan ilmu dan amal bagi murid-murid dan masyarakat luas, 
akhirnya pada malam Selasa jam 20.00 tanggal 11 September 1989 M 
bertepatan dengan 12 Shafar 1410 H, Guru Bangil wafat dalam usia lebih 
kurang 74 tahun. Beliau kemudian dimakamkan di pemakaman keluarga dari 
para habaib bermarga (vam) al-Haddad, berdekatan dengan makam Habib 
Muhammad bin Ja’far al-Haddad, di Dawur, Kota Bangil yang berjarak tidak
 jauh dari rumah dan pondok pesantren yang beliau bangun. Makam beliau 
sering diziarahi oleh masyarakat Muslim dari berbagai penjuru daerah, 
tak terkecuali dari Kalimantan Selatan.
Guru Bangil banyak meninggalkan contoh yang patut untuk diteladani, 
beliau meninggalkan kebaikan yang layak untuk dikenang, dan beliau 
meninggalkan warisan publik yang patut untuk diikuti. Kehadiran beliau 
di tengah masyarakat Banjar dan Bangil terasa sangat luar biasa. Untuk 
memperingati dan mengingat jasa-jasa beliau, serta untuk mengikuti jejak
 dan perjuangan beliau dalam mendakwahkan Islam, saban tahun, yakni 
setiap tanggal 12 Shafar diadakan haul Guru Bangil, yang selalu 
dihadiri oleh ribuan jamaah dari berbagai, terutama jamaah dari 
Kalimantan serta murid-murid beliau.
KIPRAH DAN PEMIKIRAN
Setelah lebih kurang 10 tahun mukim dan menimba berbagai ilmu agama di 
Mekkah, Guru Bangil kemudian kembali ke Martapura (Kampung Melayu Ilir) 
pada tahun 1941 serta mengabdikan ilmu yang telah didapat untuk 
masyarakat luas. Namun setelah kurang lebih berdiam selama 5 tahun di 
Martapura, Guru Bangil kemudian pindah ke Kota Bangil pada tahun 1946 
menyusul keluarga yang telah terlebih dahulu berdiam di sana.
Sebelum beliau bepergian ke Bangil (dalam tahun 1945/1946), beliau 
sempat mengajar di Madrasah Al-Istiqamah Dalam Pagar Martapura, 
namun pengabdian Guru Bangil di Madrasah Al-Istiqamah Dalam Pagar ini 
tidak lama, karena pada tahun 1946 beliau kemudian pindah dan hijrah ke 
Bangil, menyusul keluarga yang telah lama berdiam di sana.
Setelah beberapa tahun berdiam di kota Bangil, Guru Bangil mulai 
mengajar dan mengabdikan ilmunya secara luas kepada masyarakat setelah 
mendapatkan restu dari Kyai Hamid Pasuruan yang merupakan ulama Sepuh 
pada waktu itu. Di samping muthala’ah dan membuka pengajian, Guru 
Bangil juga mendirikan pondok pesantren untuk ‘kaji duduk’ ilmu-ilmu 
agama yang diberi nama Pondok Pesantren “Datuk Kalampayan” pada tahun 
1970. Santri-santrinya kebanyakan berasal dari Kalimantan, terutama dari
 Kalimantan Selatan.
Pondok Pesantren tersebut langsung ditangani sendiri oleh Guru Bangil. 
Beliau juga aktif dan tanpa kenal lelah mengajarkan ilmu kepada para 
santri, sekalipun dalam keadaan sakit. Malam hari pun diisi dengan 
berbagai kegiatan amaliyah, halaqah, dan muthala’ah. Sehingga, banyak 
para santri beliau yang kemudian menjadi orang alim dan tersebar 
diberbagai daerah, baik di Kalimantan, Jawa, Sumatera, dan lain-lain 
untuk meneruskan perjuangan Islam. Di antara santri/murid-murid beliau 
tersebut adalah:
1. ’Alimul ‘Allamah Tuan Guru Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani (Guru Sekumpul), Guru kita .
2. K.H. Prof. Dr. Ahmad Syarwani Zuhri, Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Balikpapan.
3. K.H. Muhammad Syukri Unus, Pimpinan Majelis Taklim Sabilal Anwar al-Mubarak, Martapura.
4. K.H. Zaini Tarsyid, Pengasuh Majelis Taklim Salafus Shaleh Tunggul 
Irang Seberang, Martapura (selain sebagai murid, K.H. Zaini Tarsyid juga
 merupakan anak menantu Guru Bangil).
5. K.H. Ibrahim bin K.H. Muhammad Aini (Guru Ayan), Rantau.
6. K.H. Ahmad Bakri (Guru Bakri), Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mursyidul Amin, Gambut.
7. K.H. Asmuni (Guru Danau), Pengasuh Pondok Pesantren Darul Aman, Danau Panggang, Amuntai.
8. K.H. Sayfi’i Luqman, Tulungagung (Jawa Timur).
9. K.H. Abrar Dahlan, Pimpinan Pondok Pesantren di Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.
10. K.H. Muhammad Safwan Zahri, Pimpinan Pondok Pesantren Sabilut Taqwa,
 Handil 6, Muara Jawa, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Waktu beliau banyak dihabiskan untuk mengajar, muthala’ah, dan ibadah. 
Sewaktu berdiam di Martapura, sekembali dari Kota Mekkah al-Mukarramah, 
Guru Bangil pernah ditawari untuk menduduki jabatan Qadhi di Martapura, 
namun jabatan tersebut beliau tolak. Beliau lebih senang berkhidmat 
secara mandiri dalam dunia pendidikan, dakwah, dan syiar Islam, di mana,
 muthala’ah, halaqah dakwah, ta’lim (mengajar), dan menulis (menghimpun)
 risalah menjadi aktivitas rutin beliau sehari-hari.
Dalam mengajar Guru Bangil biasanya tidak panjang lebar menjabarkan dan 
menjelaskan suatu permasalahan, beliau hanya menyampaikan apa yang ada 
dalam kitab dan telah dibahas secara panjang lebar oleh ulama penulis 
kitab. Sehingga, ketika ada yang bertanya atau mengajukan suatu 
permasalahan, beliau menjawabnya tidak dengan pendapatnya sendiri, 
tetapi beliau tunjukkan dan mengutip dari pendapat para ulama dengan 
menyebutkan kitab-kitabnya.
Guru Bangil juga aktif menulis berbagai risalah agama berupa pelajaran 
dan pedoman praktis dalam memantapkan keyakinan dan amaliah beragama 
masyarakat. Satu di antara risalah beliau yang sangat terkenal, dicetak,
 dan beredar secara luas di tengah-tengah masyarakat adalah buku yang 
berjudul Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah. Risalah ini 
berisi pembahasan tentang masalah talqin, tahlil, dan tawassul.
Guru Bangil tidak mau karya tulis beliau diperjual-belikan, itulah 
sebabnya beberapa risalah yang beliau himpun hanya ditulis dan beredar 
secara terbatas, karena tidak dicetak. Buku Al-Dzakhirat al-Tsaminah li 
Ahli al-Istiqamah yang tersebar secara luas itupun beliau izinkan untuk 
dicetak atas amal jariyah seorang donator, sehingga dibagikan secara 
gratis kepada masyarakat.
Menurut santri-santrinya, Guru Bangil adalah sosok seorang guru yang 
bisa memahami dengan baik kemampuan, karakter dan bakat 
santri-santrinya. Sehingga mereka merasa dididik sesuai dengan kemampuan
 mereka masing-masing.
Di samping menguasai ilmu pengetahuan agama yang dalam, Guru Bangil juga
 mempunyai keahlian ilmu bela diri (Silat). Keahlian dalam ilmu bela 
diri ini juga Beliau ajarkan kepada santri-santrinya sebagai bekal bagi 
mereka untuk berdakwah melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Salah seorang 
santri beliau yang mewarisi dengan baik ilmu bela diri ini adalah (alm.)
 Guru Masdar Balikpapan.
Sebagai seorang ulama, beliau mampu memberikan solusi dan sekaligus 
memecahkan masalah di masyarakat beliau. Hal ini terbukti ketika 
masyarakat hendak memperluas bangunan masjid di Kota Bangil yang tidak 
mencukupi lagi untuk menampung jamaah. Sementara, ada kendala atau 
permasalahan yang membuat ulama-ulama dan tokoh masyarakat Bangil pada 
waktu itu bingung mencari solusinya, karena areal tanah yang hendak 
dijadikan perluasan masjid terdapat kuburan. Maka, masyarakat pun 
akhirnya mereka meminta pendapat dan pemikiran Guru Bangil berkenaan 
dengan masalah tersebut, apakah masjid bisa diperluas walaupun di atas 
tanah bekas kuburan atau bagaimana? Dengan berpedoman kepada pendapat 
para ulama terdahulu Guru Bangil membolehkan. Sehingga, berdasarkan 
pendapat Guru Bangil, masalah tersebut akhirnya dapat terpecahkan, 
sehingga perluasan pembangunan masjid Bangil pun dapat diteruskan.
Dalam masalah kehidupan Guru Bangil dikenal sebagai seorang ulama yang 
sangat zuhud. Beliau pernah diberi hadiah mobil dan rumah mewah, tetapi 
semua itu ditolak beliau. Sampai meninggal dunia beliau tidak 
meninggalkan harta kepada anak cucu beliau. Beliau sangat hati-hati 
dalam hal-hal keduniawian.
Guru Bangil tidak mau ikut-ikutan atau terjun ke dunia politik. Itulah 
sebabnya beliau mau masuk dan menjadi anggota partai politik walaupun 
banyak yang mengajak. Guru Bangil pernah menjadi salah seorang Muhtasyar
 Nahdlatul Ulama (NU) Kota Bangil, namun ketika NU telah menegaskan arah
 dan tujuan organisasinya untuk khittah (kembali) ke dasar organisasi 
ketika organisasi ini didirikan (pada tahun 1926) dan tidak lagi sebagai
 partai politik.
Menurut Ustadz Subki, Guru Bangil alim dan menguasai secara mendalam 14 
cabang ilmu (fan) dari ilmu-ilmu agama. Ilmu-ilmu yang beliau kuasai 
tersebut terutama bidang fikih, hadits, ilmu hadits, ulumul Qur’an, 
tafsir, dan tasawuf.
Dalam usia muda (di bawah 40 tahun) Guru Bangil banyak menggeluti ilmu 
fikih, tetapi pada usia 40 tahun ke atas beliau banyak bergelut di 
bidang tasawuf. Tasawuf yang banyak beliau pelajari adalah tasawuf 
Al-Ghazali.
Dalam bidang hadits, beliau sangat hati-hati dalam menggunakan sebuah 
hadits sebagai dalil, dilihat dulu bagaimana keshahihan hadits tersebut.
 Begitu juga dalam menyampaikan suatu hadits, beliau sangat hati-hati 
dan penuh adab. Beliau tidak setuju kalau pidato di lapangan terbuka 
dengan membacakan atau menggunakan ayat Alquran maupun hadits, padahal 
tidak tepat dengan konteksnya.
Dalam bidang fikih Guru Bangil juga sangat alim. Kealiman Beliau dalam 
bidang fikih ini diakui oleh Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arif. Sehingga,
 ketika ada orang yang bertanya masalah fikih kepada Tuan Guru H. Anang 
Sya’rani Arif, beliau menyuruh orang tersebut untuk menanyakannya 
langsung kepada Guru Bangil. Guru Bangil pernah memperdalam fikih dengan
 Syekh Ahyat al-Bogori.
Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah (Simpanan Berharga, 
Masalah Talqin, tahlil dan Tawassul) adalah salah satu karya tulis Guru 
Bangil yang paling populer, karena pembahasan yang ada di dalamnya. Buku
 ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1967 dan telah dicetak serta 
diterbitkan secara berulang kali oleh penerbit. Buku ini tersebar luas 
di tengah-tengah masyarakat Islam diberbagai daerah dan dicetak atas 
biaya dari para donator, sehingga dibagikan secara gratis kepada 
masyarakat luas. Karena, Guru Bangil tidak mau karya beliau ini 
diperjual belikan. Buku ini juga pernah berhenti dicetak karena ada 
oknum yang memperjualbelikannya untuk mengambil keuntungan pribadi.
Buku yang berjudul Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah ini 
ditulis oleh Guru Bangil atas permintaan masyarakat Bangil karena adanya
 pernyataan-pernyataan dari tokoh-tokoh muda pemikir agama yang 
kontradiktif dengan pemahaman keagamaan masyarakat pada waktu itu, dan 
sering menganggap mudah (remeh) urusan agama, sehingga menimbulkan 
pertanyaan dan perbedaan pendapat di kalangan masyarakat. Hal ini 
terlihat di dalam tulisan beliau yang tertera di bagian penutup buku 
tersebut.
“Akhirnya tidak lupa penulis menasehatkan di sini agar angkatan-angkatan
 muda dari kalangan umat Islam di Indonesia ini dalam rangka menilai 
suatu perkara agama itu, jangan anggap mudah atau dipermudah, tapi 
hendaknya di-tanyakan langsung kepada yang betul-betul mengetahui 
tentang urusan agama jika sekiranya saudara tidak mengetahui. Dan 
selanjutnya penulis mengharapkan jangan sampai ada atau menimbulkan hina
 menghina sehingga membawa akibat yang tidak diinginkan”.
Menurut Guru Bangil sangat disayangkan apabila ada sementara orang dari 
kalangan umat Islam sendiri di dalam rangka menilai sesuatu perkara 
agama dengan mudah dan gegabah mengambil kesimpulan untuk mengharamkan 
atau menghalalkan tentang sesuatu perkara tanpa ditinjau secara teliti 
dan menyeluruh tentang hakikat dari ajaran-ajaran Islam itu sendiri. 
Sebagai contoh misalnya tentang pembacaan talqin dan doa untuk mayit 
serta tawassul. Menurut beliau, buku ini ditulis sekadar untuk menangkis
 serangan yang dilancarkan tokoh-tokoh muda pemikir agama yang secara 
sembrono memberikan fatwa-fatwa seolah-olah para alim ulama kita yang 
terdahulu telah memberikan jalan yang sesat kepada kita. Tulisan ini
 sama sekali bukanlah hasil dari penafsiran penulis sendiri tetapi hasil
 dari pemikiran ulama-ulama besar kita yang telah mengambil dasar-dasar 
menurut rel yang sebenarnya sesuai dengan ajaran Islam.
Adapun yang dibahas dalam buku ini adalah tentang masalah talqin, bacaan dan doa untuk mayit serta pembahasan tentang tawassul.
1. Talqin
Ada sementara pihak yang menyatakan bahwa pembacaan talqin itu adalah 
bid’ah dhalalah.Dalam menjawab masalah ini Guru Bangil di dalam 
buku ini menjelaskan bahwa ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam
 Tabrani dari Abu Umamah sampai kepada Nabi Muhammad Saw bahwa Abu 
Umamah telah berkata:
“Apabila aku meninggal dunia, perbuatlah diriku sebagaimana Rasulullah 
telah memerintahkan kepada kami, agar kami mengerjakan terhadap 
orang-orang yang meninggal dunia di antara kami. Telah memerintahkan 
Rasulullah kepada kami, beliau bersabda: ”Apabila meninggal dunia salah 
seorang dari saudara-saudaramu, maka setelah kau ratakan dengan tanah di
 atas kuburnya, maka hendaklah salah seorang di antara kamu berdiri di 
atas kepala kuburnya, kemudian katakanlah: Ya fulan bin fulan hingga 
akhirnya”.
Menurut beliau, hadits tersebut memang dinyatakan sebagai hadits yang 
dha’if (lemah) karena di antara perawinya ada yang kurang dhabit, karena
 itu tidak bisa dijadikan hujjah (dalil). Akan tetapi karena ada yang 
menguatkannya (syahid), maka ia dapat dijadikan hujjah. Adapun atsar 
yang menguatkan (syahid) hadits tersebut antara lain, yaitu:
“Dari Rasyid bin Sa’din dan Dhamrah bin Habib dan hakim bin Umir, telah 
berkata mereka: apabila sudah diratakan tanah atas kubur mayit, dan 
berpalinglah (pulang sebagaian manusia daripadanya. Adalah mereka itu 
(sahabat-sahabatnya) suka, bahwa dikatakan bagi si mayit di sisi 
kuburnya, ya Fulan, katakanlah: Laa ilaaha illallah, Asyhadu alla ilaha 
illallah, Rabbiyallah wa diinil Islam wa nabiyii Muhammad Saw. Kemudian 
dia berpaling (pulang)”. (diriwayatkan oleh Said bin Mansur).
Ketiga orang tersebut (Rasyid bin Sa’din, Dhamrah bin Habib dan Hakim 
bin Umair adalah para tabi’in). Perkataan seperti tersebut di atas tidak
 ada jalan untuk diijtihadi. Jadi hukum perkataan tabi’in tersebut 
adalah langsung dari Nabi Saw seperti tertera dalam kaidah.
Syahid-syahid yang lain yang menguatkan hadits tersebut adalah yang 
diriwayatkan dari Amr bin Ash pada hadits yang panjang, di dalam hadits 
itu terdapat perkataan:
“Maka jika kamu selesai menanam aku dan menimbun tanah kuburku, kemudian
 berdiamlah kamu di samping kuburku sekadar selama waktu disembelih onta
 dan dibagi-bagikan dagingnya, sehingga aku mendapat kesenangan 
dengan kamu dan supaya aku mengetahui bagaimana menjawab utusan 
Tuhanku”. (Riwayat Muslim dalam Kitab Shahih Muslim).
Ada lagi hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dengan jalan yang Shahih:
“Adalah Nabi saw apabila selesai menanam mayit, maka berdiam atasnya, 
lalu beliau bersabda: Mintakan ampun bagi saudaramu sekalian dan 
mohonkan kepada Allah akan ketabahan hati baginya karena ia sekarang 
akan ditanya”.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Abu Dawud, telah pula 
memperkuat isi hadits mengenai talqin tersebut. Meskipun dalam hadits 
ini dimaksudkan adalah doa, akan tetapi dengan isyaratnya menunjukkan 
dan menyuruh agar kita mengerjakan sesuatu yang menjadikan ketabahan 
bagi si mayit karena pada waktu itu kehadiran kita betul-betul 
diperlukan.
Di dalam kitab Ruh, Ibnu Qayyim al-Jauziyah telah berkata bahwa hadits 
talqin itu berturut-turut diamalkan tanpa diingkari dan cukuplah untuk 
dikerjakan. Bagi kita tidak ada larangan untuk mengucapkan sesuatu 
perkataan yang menjadi-kan manfaat bagi si mayit. Hal ini didukung pula 
oleh Imam An-Nawawi di dalam Syarah Muhadzab.
Menurut Guru Bangil, talqin itu pada hakikatnya bukanlah dimaksudkan 
memberi pelajaran pada orang-orang yang sudah mati, melainkan sekadar 
memberi ketenangan atau ketabahan di dalam kubur, seperti tersebut 
di dalam Alquran surah al-Dzariyat ayat 55:
Artinya: “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman”.
Dengan mengutip pendapat beberapa ulama yang menguraikan dan menjelaskan
 masalah talqin, maka menurut Guru Bangil, talqin diperbolehkan dan 
bukanlah perbuatan bid’ah, karena memiliki dalil yang kuat.
Senada dengan penjelasan dan uraian Guru Bangil dalam buku Al-Dzakhirat 
al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah ini, penjelasan yang panjang lebar, 
dilengkapi dengan tanya-jawab, dan disertai pula dengan dalil-dalil yang
 membolehkan serta menguatkan masalah talqin, bisa dibaca dalam buku 40 
Masalah Agama, karangan K.H. Siradjuddin Abbas.
2. Bacaan dan Doa untuk Mayit
Masalah bacaan dan doa untuk mayit dibahas dalam tulisan beliau ini 
sebenarnya berpangkal pada pertanyaan: Apakah orang yang meninggal dunia
 mendapat manfaat dari amal orang yang masih hidup? Ada sementara 
pendapat yang menyatakan bahwa manfaat tersebut tidak akan diperoleh 
lagi oleh orang yang meninggal dunia dengan berbagai macam alasan. Dalam
 uraian ini Guru Bangil menunjukkan hal-hal yang justru sebaliknya.
Pertama-tama Guru Bangil mengemukakan sebuah hadits dari Abu Utsman: 
“Bacalah surah Yasin atas orang yang meninggal dunia di antara kamu”
Menurut Beliau kedudukan hadits tersebut dhaif karena di antara 
perawinya ada yang kurang kuat. Tetapi ada yang menguatkan hadits 
tersebut, di antaranya:
Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam kitab Syuabil Iman, dari Ma’qil bin 
Yasar, bahwasanya Nabi Saw bersabda: “Barang siapa membaca Yasin karena 
menuntut pahala atau ganjaran kepada Allah, niscaya diampuni dosanya 
yang telah lalu. Maka bacakanlah Yasin disisi orang yang meninggal dunia
 diantara kamu”.
Di dalam hadits-hadits lain juga disebutkan tentang bacaan ayat-ayat Alquran di atas kubur, yaitu:
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda: “Barang 
siapa masuk halaman kuburan dan membaca Fatihah, Qul huwallahu ahad dan 
Alhakumut Takatsur, kemudian ia berkata sesungguhnya aku jadikan pahala 
yang kubaca dari kalam Engkau bagi ahli kubu dari kaum mu’minin dan 
mu’minat, maka niscaya mereka itu memintakan syafa’at kepada Allah 
baginya” (Dikeluarkan oleh Zanjani di dalam kitab Fawaid).
Dari Aisyah ra: Telah bersabda Rasulullah Saw: “Telah datang kepadaku 
Jibril, ia berkata sesungguhnya Tuhanmu memerintahkanmu datang ke 
kuburan Baqi supaya kamu memintakan ampun bagi mereka. lalu berkata 
Aisyah ra, “Bagaimana saya berkata untuk mereka ya Rasulallah? 
Rasulullah bersabda: “Sebutlah: Assalamu ahla al-diyar. Dalam riwayat 
lain Assalamu alaikum ahla al-diyar minal mu-minin wa al-Muslimat wa 
inna insya Allah lalahikun asalullaha lana wa lakum al-afiyah”. (Riwayat
 Imam Muslim).
Dalam membahas masalah ini, Guru Bangil juga menambahkan beberapa 
keterangan yang dikemukakan oleh ulama muhadditsin dan fuqaha, di 
antaranya: Diriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa ia berkata: 
“Apabila engkau masuk halaman kuburan maka bacalah ayat Kursi dan 3 kali
 surah al-Ikhlas. Kemudian ucapkanlah bahwa pahalanya bagi ahli kubur”. 
Demikian juga dari ulama yang lain seperti, Imam Syaukani, Imam 
Za’farani, Imam Ramli, Syekh Muhammad Faleh, Imam al-Suyuti dan 
lain-lain yang menguatkan masalah bacaan dan doa untuk mayit ini.
Mengenai masalah sedekah untuk si mayit, baik dalam bentuk makanan 
maupun amal kebaikan tidak dilarang oleh syariat Islam. Hal ini sudah 
ada sejak masa sahabat. Ini dikuatkan pula dengan hadits yang 
diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ashim bin Kulaib yang menceritakan 
tentang Nabi Saw makan bersama sahabat-sahabatnya di rumah seorang 
wanita yang kematian suaminya. Kemudian, di dalam hadits-hadits lain 
dinyatakan bahwa sedekah untuk orang yang sudah meninggal dunia itu 
sampai kepadanya. Jadi, dengan demikian menurut Guru Bangil selamatan 
yang dikerjakan untuk si mayit itu dibolehkan dan sunnat hukumnya. 
Bahkan di dalam fatwa-fatwa mereka, ulama membolehkan seseorang yang 
akan meninggal dunia untuk berwasiat menyuruh ahlinya agar bersedekah 
untuknya setelah ia meninggal dunia.
3. Tawassul
Tawassul adalah minta sesuatu kepada Allah Swt disertai dengan ucapan: 
dengan berkat fulan, dengan kebesaran fulan, dengan sesuatu amal, dengan
 sesuatu ayat, atau dengan berkat shalawat dan lain-lain.
Guru Bangil berpendapat bahwa cara-cara yang demikian itu tidak ada 
larangan dalam agama Islam, karena menurut beliau setiap Muslim tetap 
berkeyakinan dan percaya bahwa semuanya itu, apa saja hanyalah merupakan
 sebab belaka dan tidak mempunyai kekuasaan apa-apa, sedang yang 
berkuasa serta yang mengabulkan sesuatu hajat itu adalah Allah Swt, 
tidak ada yang lain kecuali Dia.
Adapun dalil yang dipakai beliau sebagaimana pendapat ulama yang membolehkan tawassul, antara lain:
Hadits yang menunjukkan tentang bertawassul dengan orang yang hidup. 
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Thabrani dalam kitabnya 
al-Mu’jam al-Kabir wa al-Ausath, juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban
 dan Imam al-Hakim, dan mereka mensahkan hadits ini. Dari sahabat Annas 
bin Malik, ia berkata: “Ketika Fatimah binti As’ad ra (ibunda Saidina 
Ali) meninggal dunia, ia pernah memelihara Nabi Saw. Kemudian Nabi Saw 
bersabda: “Ampuni Ya Allah, ibuku Fatimah binti As’ad, dan luaskan 
atasnya tempat masuknya (kuburnya) dengan haq Nabi Engkau dan Nabi-nabi 
sebelum aku”.
Dalil tawassul yang terdapat sesudah Nabi wafat, tawassul kepada Nabi 
dan selain dari Nabi. Di dalam kitab Fath al-Bari disebutkan sebuah 
hadits:
“Telah meriwayatkan Ibnu Abdurrazak, dari hadits Ibn Abbas, bahwasanya 
Sayyidina Umar minta hujan di mushalla, maka Sayyidina Umar berkata pada
 Sayyidina Abbas: Bangunlah dan mintakan Hujan. Di antara do’a Sayyidina
 Abbas …… telah menghadap kaum dengan aku kepada Engkau dikarenakan 
hubunganku dengan nabi-Mu”.
Umar bin Khattab berkata pula: “Ya Allah bahwasanya kami telah tawassul 
kepada Engkau dengan Nabi kami, maka Engkau turunkan hujan, dan sekarang
 kami tawassul kepada Engkau dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah 
hujan itu.” (Hadits ini dirawikan oleh Imam Bukhari dan Baihaqi. Lihat 
Shahih Bukhari, Jilid I, h.128 dan Baihaqi, Sunan al-Kubra, Jilid II, 
h.352).
Adapun mengenai tawassul dengan Nabi ketika beliau sudah wafat, Guru 
Bangil memberikan contoh perkataan Sayyidina Abu Bakar: “Dengan ayah dan
 ibuku adalah tebusan engkau hai Muhammad, hidup dan matimu adalah baik.
 Hai Muhammad, sebutlah kami di sisi Tuhanmu” (diriwayatkan oleh Imam 
Abiddunia di dalam kitab Addharra).
Dalil-dalil tawassul lainnya yang dikemukakan Guru Bangil yang 
menujukkan bahwa tabi’in, tabi’it tabi’in, imam-imam dan para ulama 
berwasilah juga, yaitu:
a. Bahwa waktu berkunjung ke Baghdad, Imam Syafi’i berziarah dan mendatangi kubur Imam Abu Hanifah serta bertawassul kepadanya.
b. Tatkala Imam Syafi’i mendengar Ahli Maghribi yang bertawassul dengan 
Imam Malik, beliau tidak melarang bahkan beliau pun bertawassul dengan 
ahl al-bait.
c. Imam Ahmad bin Hanbal bertawassul dengan Imam Syafi’i.
d. Imam Al-Ghazali pun bertawassul dengan nabi-nabi dan keluarganya, dan
 dengan fadhilah amal-amal, sebagaimana tersebut di dalam kitab Qashidah
 Munfarijah.
e. Ulama-ulama besar lainnya pun bertawassul, sebagaimana disebutkan di dalam banyak kitab.
Dengan dalil-dalil tersebut yang meliputi perbuatan-perbuatan Nabi, 
sahabat dan ulama-ulama cukuplah kiranya bagi umat Islam menurut Guru 
Bangil untuk tidak meragukan dan tidak pula mengingkari akan bolehnya 
bertawassul dengan nabi-nabi, wali-wali dan para shalihin (orang-orang 
shaleh).
Berbagai hal yang telah dijelaskan dan diuraikan oleh Guru Bangil 
berkenaan dengan tawassul dalam buku Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli 
al-Istiqamah ini, tidak jauh berbeda dengan penjelasan yang diuraikan 
dalam buku 40 Masalah Agama, karangan K.H. Siradjuddin Abbas. Di 
mana dalam buku 40 Masalah Agama tersebut, masalah tawassul dalam mendoa
 dikemukakan secara panjang lebar, dilengkapi dengan tanya-jawab, dan 
disertai pula dengan dalil-dalil yang menyatakan tatacara dan kebolehan 
seseorang untuk berdoa dengan cara bertawassul.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, Tuan Guru H. Muhammad Syarwani Abdan yang 
dikenal luas oleh masyarakat Banjar dan Bangil khususnya sebagai seorang
 ulama yang memberikan sumbangsih besar terhadap pembangunan mental 
spiritual umat melalui keilmuan dan kiprah keagamaan selama beliau 
hidup. Aktivitas beliau yang tidak jauh dari rutinitas ibadah, 
muthala’ah, halaqah, dakwah, ta’lim, dan menulis risalah bimbingan 
keagamaan untuk masyarakat serta mendirikan Pondok Pesantren Datuk 
Kalampayan di Bangil memberikan pengaruh yang signifikan terhadap 
kegiatan amal ibadahn dan keagamaan masyarakat.
Berkenaan dengan hadits, beliau sangat hati-hati dalam menggunakan 
sebuah hadits sebagai dalil, dilihat dulu bagaimana keshahihan hadits 
tersebut. Begitu juga dalam menyampaikan hadits, beliau sangat hati-hati
 dan penuh adab. Dalam bidang fikih Guru Bangil juga sangat alim. 
Kealiman Beliau dalam bidang fikih ini diakui oleh ‘Alimul ;Allamah Tuan
 Guru H. Anang Sya’rani Arif. Ketika ada orang yang bertanya masalah 
fikih kepada Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arif, maka beliau menyuruh 
orang itu untuk menanyakannya kepada Guru Bangil. Dalam masalah 
kehidupan Guru Bangil dikenal sebagai seorang ulama yang sangat zuhud. 
Beliau pernah diberi hadiah mobil dan rumah mewah, tetapi semua itu 
ditolak beliau. Sampai meninggal dunia beliau tidak mewariskan harta 
kepada anak cucu beliau.
Al- Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah (Simpanan Berharga, 
Masalah Talqin, tahlil dan Tawassul) adalah salah satu karya tulis Guru 
Bangil yang paling populer. Buku ini ditulis beliau atas permintaan 
masyarakat Bangil karena adanya pernyataan-pernyataan para pemikir muda 
yang kontradiktif (berlawanan) dengan pemahaman keagamaan masyarakat 
pada waktu. Menurut beliau, talqin, bacaan, doa dan sedekah untuk mayit 
serta tawassul diperbolehkan dan tidak bertentangan dengan syariat Islam
 asalkan sesuai dengan kaedah yang dicontohkan oleh ulama.
Berikut ini ada beberapa Foto Al 'Alimmul Al 'Allamah Al Arrif Billah Syekh Muhammad Syarwani Abdan ( Guru Bangil )  Bersama Guru Semman Mulia & Al 'Alimmul Al 'Allamah Al Arrif Billah Syekh Muhammad Zaini Bin Abdul Ghoni (Guru Sekumpul):
  | 
| Tiga Serangkai | 
  | 
| GURU SEKUMPUL , GURu BANGIL DAN GURU SAMMAN | 
  | 
| Guru Seman Mulia, Guru Bangil Dan Guru Sekumpul |